KUMPULAN DONGENG DAN FABEL KHAS SPENSABA

SETELAH CERPEN KUMPULAN DONGENG TELAH DI CETAK GENERASI SPENSABA. JIKA LUCU DAN MASIH POLOS MAKLUM YA. SEMUA CERITA DI KERJAKAN SISWA SPENSABA. KISAH DONGENG BALONGPANGGANG DI BUKUKAN DALAM BUKU INI


ASAL USUL DUSUN MAMBUNG LOR DAN DESA BANJARAGUNG
Oleh: Vina Eka Aprillia


Pada zaman dahulu ada sebuah dusun yang terkenal dengan kekayaan warganya. Walaupun mereka kaya, tetapi mereka tidak mau sama sekali pun untuk bersedekah. Mereka terkenal orang yang sombong – sombong dan suka memamerkan harta kekayaannya. Orang – orang dusun tersebut tidak tau untuk apa kita bersedekah.
Bagi mereka, bersedekah akan mengurangi hartanya yang kelama – lamaan hartanya akan habis sehingga mereka takut menjadi orang miskin. Tidak hanya tidak mau bersedekah, orang – orang dusun tersebut juga termasuk orang yang serakah, terutama serakah dalam bidang pekerjaan. Orang – orang dusun tersebut jika ada satu objek pekerjaan, mereka tidak mau pekerjaannya dibagi dengan warga dusun sebelah. Mereka khawatir jika bekerja hanya sedikit, mereka akan mendapatkan penghasilan yang juga hanya sedikit, sehingga bagi mereka tidak akan cepat menambah kekayaan hartanya.
Orang – orang dusun tersebut dikenal masyarakat Jawa dengan istilah ‘’plumbung – plumbung’’ yang artinya orang yang sombong – sombong. Pada suatu hari ada seorang pengemis mendatangi salah satu rumah orang sombong tersebut. Pengemis tersebut sangat kehausan sudah berhari hari jalan kaki mencari air namun, tidak setetes air pun ia temukan. Ia meminta kepada pemilik rumah untuk memberi ia air walau hanya setegukan. Namun kenyataannya sang pemilik rumah tidak memberinya air, si pemilik rumah berkata dihadapan pengemis itu bahwa dirumahnya sedang kehabisan air. Padahal dirumahnya terdapat bertandon – tandon air. Pengemis tadi sudah tua renta berjalan kemana - mana mencari air dengan membawa tongkat kayunya. Melihat pernyataan si pemilik rumah tersebut, pengemis itu berkecil hati. Dia tahu di dalam rumah orang sombong itu banyak terdapat air. Tetapi hanya pemiliknya yang tidak mau bersedekah kepadanya. Dalam hati pengemis itu bersumpah bahwa sumur – sumur di dusun tersebut akan dikeringkan. Dengan lantang dan suara yang keras, pengemis tersebut mengucapkan kalimat – kalimat dalam hatinya di hadapan sang pemilik rumah tersebut. Sang pemilik rumah hanya tertawa tak menghiraukan apa yang sudah diucapkan oleh pengemis itu. Pengemis itu langsung pergi dengan hati marah meninggalkan rumah orang sombong dan pelit itu.
Si pemilik rumah masih tertawa hingga masuk kerumahnya yang akan mau mandi, mendengar ucapan terakhir pengemis tua renta tadi. Hingga mau mandi, ia hendak mengambil air di sumur belakang rumahnya, tiba – tiba sang pemilik rumah tersebut terkejut karena secara tiba – tiba air dalam sumur mengering. Dalam hatinya ragu dan berkata, apakah ucapan pengemis tadi itu benar. Si pemilik rumah langsung menceritakan hal yang tejadi padanya kepada orang – orang dusun tersebut. Mendengar hal itu, warga langsung mengejar pengemis tadi.
Pengemis tadi berjalan kearah utara. Dengan semarak warga mengucapkan kata ‘’ngalor – ngalor‘’ yang artinya ke utara. Akhirnya warga menemukan pengemis tua renta tadi. Setelah menemui pengemis tadi, warga langsung meminta maaf kepada pengemis itu. Lalu pengemis itu memaafkan asal dengan suatu syarat, yaitu warga harus bisa mengubah sikapnya yaitu sikap sombong dan serakahnya. Dan warga pun menyetujui persyaratan tersebut. Setelah mendengar persetujuan warga tersebut, si pengemis itu lalu menancapkan tongkatnya ke dalam tanah hingga memancarkan air yang banyak sampai terjadi banjir yang besar.
Banjir yang besar masyarakat Jawa menyebutnya banjar agung. dan akhirnya ternamailah dusun dan sebuah desa tersebut dengan nama dusun Mambung lor dari pengambilan kata plumbung – plumbung dan ngalor – ngalor dan desanya yaitu desa Banjaragung pengambilan dari kata banjir yang besar.



Asal usul Dusun Karangwungu, Mojogede
Oleh: Zahrin

Pada zaman pemerintahan Mojopahit ada seorang Wiku dari Gunung Wilis punya anak dua bernama Sriada dan Sriani, kebetulan Sriani jadi penari latar kraton Mojopahit.
Sang wiku bernama Wongsotanu, Wongsotanu bersama anaknya di tugaskan ratu Mojopahit menjadi Demang di Guwo jero. Dan anaknya yang bernama Sriani semedi di dalam Guwojero.
Di Gresik Seh Maulana Malik Ibrahim menyuruh santrinya untuk mengunjungi Sang Bibi yaitu bernama Putri Cempo istri Prabu Kartobumi Raja Mojopahit. Setelah tiba di sungai sebelah utara kademangan Guwojero, R. Santri istirahat untuk sholat ashar. Tanpa di sadari ada seorang perempuan mandi di sungai tersebut, kebetulan R. Santri lagi sholat ashar.
Orang perempuan yang mandi itu tidak mengerti bahwa R. Santri itu lagi sholat ashar dan di kira R. Santri melihat perempuan yang mandi tersebut, akhirnya perempuan itu memberi tau pada suaminya dengan nada marah, akhirnya suaminya tersebut membawa tombak dam nencari R. Santri yang sedang sholat ashar. Tanpa berfikir panjang R. Santri di tombak sampai meninggal dan di kubur di tempat tersebut.
Suatu ketika ada hujan lebat dan banjir, akhirnya kali itu pindah ke sebelah utara dan merusak orang yang membunuh R. Santri dan minta maaf kepada R. Santri.
Di Mojopahit putra raja Mojopahit R. Patah oleh ibunya Putri Cempo anaknya di titipkan ke sunan ampel Surabaya. R. Patah dan sahabatnya R. Ahmad berangkat ke Surabaya dan melewati Guwojero, di Guwojero bertemu orang yang sedang topo yaitu Sriani. Setelah tiba di Guwojero R. Patah menggagalkan Sriani yang sedang tapa setelah Sriani gagal R. Patah mengajak Sriani supaya masuk islam, Sriani akhirnya mau masuk islam dan di suruh mengucap kalimat syahadat, dan akhirnya Sriani di nikahkan dengan sahabatnya yaitu R. Patah melanjutkan perjalanan ke Surabaya dan singgah ke Seh Maulana Malik Ibrahim.
Sriani dan R. Ahmad sudah memeluk agama islam, Sriani ketauan ayahnya Wongsotanu marah kepada Sriani. Karena tidak memberi tahu kepada sang ayah. Akhirnya Sriani menangis mengeluarkan air mata dan menetes ke dalam Guwojero





BALONG PANGGANG SATU CERITA


Asal usul Balongpanggang menurut cerita rakyat yang berkembang, kisah ini berawal dari Sunan Giri III, yaitu Sunan Margi. Beliau melakukan perjalanan dari Giri (Gresik) menuju ke Majapahit. Jalur yang dilewati melalui Cerme, Benjeng, Balongpanggang menuju ke barat, Mantup Lamongan.
Ketika sampai ditempat ini beliau berisitirahat. Sunan Margi adalah Raja ke tiga dari kerajaan Giri Kedaton. Sebagai raja kerajaan islam yang mendapat gelar Sunan, maka beliau juga berdakwah untuk mengenalkan Islam dan mengajak orang-orang untuk menyembah Allah swt. Islam waktu itu adalah agama baru bagi, mereka lebih terbiasa menyembah gerumbul, pohon-pohon tua, atau tempat-tempat angker sebagai persembahan untuk leluhur nenek moyang.
Keyakinan baru yang dibawa Sunan Margi, agama Islam, menimbulkan ancaman bagi keyakinan/agama lama yang telah diyakini sejak moyangnya. Sehingga ketika Sunan Margi meminta ijin mengambil air wudlu di Balong (kolam/jublang sumber air) untuk melaksanakan sholat, warga menolak, tidak mengijinkan. Mereka memperlakukan Sunan Margi dengan tidak baik.
Karena kehadiran Sunan Margi tidak diharapkan, beliau meneruskan perjalanan ke Mojopahit, lagipula di sini hanya mampir istirahat. Mengambil arah ke barat beliau menuju Mantup Lamongan. Sepeninggal sunan Margi, keanehan terjadi. Balong/kolam sumber air surut, kering kerontang. Dasarnya retak, merekah menganga seperti habis dibakar atau dipanggang. Mungkin ini adalah peringatan dari Allah swt, atas perlakuan warga kepada Sunan Margi, agar masyarakat sadar dan memeluk agama islam.
Kemudian hingga sekarang tempat ini dikenal luas oleh masyarakat menjadi Balongpanggang. Kira-kira artinya kolam kering seperti dipanggang. Balong artinya kolam/jublang sumber air.
Ini sesuai dengan keadaaan geografis saat ini. Desa Balongpanggang sumber air dari tanah, susah keluar, kalaupun ada jarang sekali dan rasanya asin, sehingga tidak bisa untuk diminum. Bahkan untuk mandi badan rasanya lengket (pliket) dan gerah. Masyarakat Balongpanggang memanfaatkan kolam (jublang, balong) sebagai tempat tandon air hujan, untuk mandi dan cuci.
Sedangkan konsumsi minum dan memasak mengambil dari air telaga khusus. Saat musim kemarau air telaga kering, masyarakat membeli air dari gunung Mantup, atau ngangsu di desa tetangga yang sumber airnya mudah didapat, misalnya Desa Kedungsumber.
Versi lain, kata Balong, banyak tertulis dalam buku peta desa lama, lebih dikenal dengan “Kretek Desa”. Balong berarti blok atau kelompok wilayah terkecil. Sebagai penjelasan pembanding, pada surat Pajak Bumi dan Bangunan, yang saya tahu, biasanya tertulis nomor persil/objek dan nomor blok. Setiap blok terbentuk dari seratusan lebih persil/objek tanah, dalam hal ini sawah ladang dan rumah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUDAYA GRESIK "BERBUDAYA"

SANAS (SATGAS ANTI NARKOBA SPENSABA) AYO BERSIHKAN SEKOLAH DARI PENGARUH NARKOBA