RINDU MERAH-PUTIH BERKIBAR

Denting jam menunjukkan pukul 07.30 tepat, saat udara panas menyentuh kulitku begitu tajamnya. Keringat dingin mulai bercucuran dari pori-pori kulitku. Getaran jantung semakin kencang detaknya. Tiba tiba suara terdengar begitu kerasnya dari arah belakangku. “ bendera merah putih putus” seketika aku terbangun dari kesendirianku. Memandang bendera negaraku menari dari puncak tiang menuju tanah airku. Sejuta mata memandang dengan herannya. Tapi aku tak kuasa melihat suasana itu. “ bruk” aku terjatuh. Suasana hening seketika. Itu ku dengar dari batinku. Sahabat-sahabatku memandangku dengan wajah aneh. Wajah yang selama ini tak pernah aku mengerti. Seketika guru olahraga mengangkatku ke arah ruang UKS. Ting... ting dentingan suara dari kejauhan membangunkanku. Ku lihat suasana pucar di sekitarku. Lelaki bertubuh tegap berbicara dengan suara yang tegas.” Kita harus ebrgerak. Mengamankan sang pusaka yang kini di ambil Belanda. Jendral sudirman memerintahkan kita terus ebrgerak menyerang ke markas belanda malam nanti” ku pandangi dengan jeli di sekitar sana. Banyak pasukan ami yang terluka. Darah bercucuran dari tubuh darmin, salah satu rombongan kami. Kakinya tertembak peluru belanda. Tak ada satupun dari kami yang menyerah. Kami aan terus berjuang merebut kembali bendera kami. Merah warna dara kami dan putih kesucian kami. Kami bergerak menyusuri hutan yang lebat di kawasan giri kedaton. Semangat perjuangan sunan giri menemani kami. Berlari darn terus berlari mengitari hutan untuk mencapai pelabuhan. Bendera merah putih di simpan pasukan belanda di pelabuhan gresie. Kapal kapan belanda berjajar rapi seperti ikan tri yang terus berlari mencari mangsa di lautan lepas. Kami pun terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Tanpa alas kaki, darah dan naanah tak pernah di pedulikan demi satu bendera. Bendera yang kaan kami agungkan di tiang bendera. “ belanda datang” suara Mat Jarwo terdengardari atas pohon jati. Kamipun tiarap menunggu mereka mendekat lalu menyerang dengan tombak kami. Yang telah kami lumuri dengan racun kobra. Mengendap-endap kami melewati semak-semak belukan. Duri dan ranting yang menusuk tubuh kami sudah menjadi makanan lumrah kami. Tiba- tiba aku terbangun. “ sudah siuman” ucap sahabatku di ruang BK. Aku memandangi mereka denagn penuh tanya. “ apakah bendera kita telah di selamatkan”. Pertanyaanku membuat sahabatkus aling memandang. Dalam hatinya muncur tanda tanya yang mereka sendiri tak mengerti apa yang aku maksud. “Apa bendera sudah di selamatkan” ucapku dengan nada lebih keras. Merekapun menjawab dengan kompak. Sudah. Bendera sudah di bawah pak mujianto keruang OSIS. “ perasaanku semakin kalut” jangan jangan bendera tadi tak terselamatkan. Mataku mulai aku pejamkan. Berusaha melupakan apa yang terjadi. Biarkans ekali inis aja benderaku tak terselamatkan. Seketika, kulihat jam menunjukkan pukul 08.00 aku memaksakan berdiri dari tempat tidurku. Tapi petugas UKS membimbingku agar rebahan dulu. Sambil menyuapiku dengan makanan yang hangat. Kuandangi wajahnya. Guru yang cantik dan bersahaja. Kupandang dalam keruangan kosong diantara wajah dan tutur katanya. Aku masuk keruang rumah sakit yang hening. Tak ada yang bicara denganku.s emuanya mematung. Ayahku, pamanku, kakakku,a dikku, semua tetanggaku diam membisu did epan rumah sakit. Saat aku masuk ku lihat tubuh berbujur kaku. Tak memandangku, wajah yang selama ini menemaniku dari kecil. Sosok yang menyuapiku kini telah berpulang. Aku mulai sadar ibuku telah tiada. Segala kenangan telah musnah bersama harapanku. Ku lihat tak ada dokter dan paramedis satupun di sana. Perasaan berkecamuk menemani hatiku yang sepi. “orang miskin tak boleh sakit” ucapku lirih. Mengenang betapa miskinnya kami. Hingga mengobatkan ibuku pun tak bisa. Tak lagi ada kata BPJS yang budiman. Ibuku telah berpulang. Tetes demi tetes air mata membasahiku. Hingga aku tak kuat menahan perasaan sakit ini. Saat aku membuka mataku kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 10. 00, di depan kelas Bu Nanik menjelaskan begitu semangatnya. Tentang Undang-undang dasar, kitap undang undang yang di anggap suci bagi negeri ini. Lalu pancasila yang selalu di agungkan. Kami semua harus memiliki jiwa nasionalisme. Mampu berjuang demi negeri ini. Patriotisme di gemakan di hati kami dengan logika matematika dan sosialnya. Aku meandangnya begitu semangat. Merasuk kedalam matanya yang bening. Kulihat betapa matanya memancarkan cahaya yang bening. Ku semakin kedalam memasuki cahaya itu dan aku temukan satu masa. Dimana aku dan sahabat-sahabatku bermain di jalanan. Sambil mendendangkan lagu barat “see you again” menemani perjalanan kami. Kudengarkan begitu semangatnya. Sahabatku kepalanya mangut mangut seakan memahami dengan baik syair itu. Seketika hatiku tergugah, di mana letak lagu indonesia raya, indonesia pusaka, gugur bunga, lalu lagu-lagu ndonesia. Tak ada satupun dari daftar putar lagu di HP temanku yang bernuansa indonesia. Semuanya bernuansa barat. Lalu bicaranya mulai ke inggris-inggrisan. Hatiku semakin perih ketika melihat suasana itu. Hatiku peluh tak mampu menerima kenyataan ini. Teng... teng.... teng.... suara itu menyadarkanku kembali dari bayangan sepiku. Aku melihat ke samping. Dela sahabatku yang setia menemaniku selama ini dia tersenyum dan berkata “ sudah pukul 11.00 waktunya pelajaran bahasa indonesia. Lima menit yang lalu pak Yas datang. Dia meminta kita belajar diskusi. Diskusi harus santun, harus mengedepankan kesantunan. Logika yang logis, dan bahasanya harus baik. Meskipun tidak sependapat dengan lawan diskusi harus mengunakan bahasa yang enak di ucapkan. Melihat catatan buku temanku kulihat degan jelas tadi malam bagaimana anggota dewan yang saling menghujat, menghina satu dan lainnya. Mereka melempar mic dengan brutal. satu diantaranya maju kedepan lalu melempar meja ke pimpinan sidang. “Lalu mana yang namanya santun” aku tak melihat kesantunan di hati para pemimpinku, saat di kelas aku di ajari diskusi santun. Lama lama kepalaku pusing hingga aku terjatuh di depan televisi Ting... ting suara itu membangunkanku seketika ketika aku tiba tiba mendengar suara adzan di masjid sekolahku. Tepat pukul 11.45 menit memasuki waktu sholat dhuhur. Ku ambil air wudhu. Ku hadapkan wajahku menghadap Thanku memohon agar masalah negeri ini segera selesai. Ku basuh mukaku berharap agar mataku selalu memandang kebenaran, akhakul karimah yang di lakukan masyarakat negeriku. Lalu ku membasuh tanganku agar terbebas dari seluruh perbuatan tercela. Di masjid ku lihat sahabatku memakai pakaian putih, senyum bahagia terpancar dari wajah mereka. Busana putih mengambarkan betapa hati mereka suci sebersih akhlakul karimah. Lalu Ku bersujut menghadapkan wajahku ke hadapan Tuhanku. Aku memohon satu harapan saja. Harapan yang paling aku inginkan. Aku tak ingin mobil mewah untuk orang tuaku, HP yang paling bagus untuk bergaya ria di hadapan sahabatku. Apalagi minta nilai bagus untuk semua bidang studi. Aku hanya berharap bendera “merah putih” kembali berkibat di ujung tiang bendera di setiap hati rakyat negeri ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUDAYA GRESIK "BERBUDAYA"

SANAS (SATGAS ANTI NARKOBA SPENSABA) AYO BERSIHKAN SEKOLAH DARI PENGARUH NARKOBA