MENCETAK BUKU CERPEN SENDIRI
SELAMAT KINI SISWA SMPN 1 BALONGPANGGANG TELAH MAMPU MEMBUAT BUKU SENDIRI. SLAAH SATUNYA KUMPULAN CERPEN YANG DI KERJAKAN SISWA-SISWA SPENSABA. INI SOBAT SALAH SATU KARYANYA
LUKA ABADI DALAM KENANGAN
Karya : Khofifah Indar Parawangsa
Pagi hari, dibawah langit biru ku menatap matahari terbit dari ufuk timur….
Pagi yang mengawali kehidupan ini. Sinarnya redup menjelajah diantara daun dan batang yang basah. Tetesan embun yang bening terus mengalir diantara serat-serat pepohonan nan sepi. Burung-burung bersiul bersaut-sahutan diantara ranting kering pohon bamboo, lalu ikan enggan berenang diantara sungai yang mulai mengering. Alirannya kini tingal searah saja, kecil dan semakin mengecil seharinya. Kehidupanku yang sunyi yang terpendam dalam luka. Aku duduk termenung diatas kesunyian dibawah pohon mangga yang kini tak lagi berbuah dan daun-daunnya mulai menguning.
Diantara keheningan pagi. Mata ini terus menatap bunga mawar yang elok nan indah dihadapan tubuh ini. Saat ku menatap bunga yang indah itu seakan-akan mata ini melihat surga diatas langit ke tujuh. Surga yang di ceritakan ustad-ustadku dulu seperti taman surgawi. Di penuhi dengan bunga-bunga yang indah. Bermekaran di sana-sini, lalu aliran sungai begitu deras dengan suasana tenangnya. Lalu beribu hewan yang indah menemani kesempurnaan taman surgawi. Begitu juga di hadapanku, kulihat kupu-kupu pun menghampiri bunga mawar yang elok nan indah itu, menari-nari diatas mahkota bunga mawar yang menambah ke indahan dalam kesunyianku. Kakinya yang lentik, terus menarikan sajak-sajak sunyi. Mengiringi suara alam yang terus bernostalgia diantara kisah romansa klasik.
Tangan yang merabah, memegang, dan menggenggam keindahan dalam kesunyian. Kaki yang berpijak di atas bumi, kaki yang menompang diri tuk menjalani hidup. Dan hati yang mantab tuk ada dalam kehidupan yang bahagia. Umur yang sudah tua rentan ini sama seperti pohon yang selama ini menjadi atap disaat ku duduk merasakan hembusan angin dalam kesunyian. Dalam renungku ku berfikir, apakah aku pernah muda?, aku pun tak tau kapan aku mudah? Seperti apa masa mudaku? Bahkan aku pun tak tau kapan masa kanak-kanakku di mulai dan telah usai? Kehidupan ini sungguh membingungkan. Kehidupan yang berjalan seperti air yang terus mengalir. Atau seperti angin yang terus berhembus tak tentu arah rimbanya. Menyela diantara dedaunan dan pepohonan. Lalu menepi diatas rumput-rumput yang bergoyang. Membela bukit dan pegunungan. Lalu menyentuh diantara gelombang lautan yang lepas.
Terlintas pada pikiranku………..
Dulu aku duduk disini dengan senyuman dan sejuta kebahagiaan. Duduk bersama denganmu dibawah sandaran pohon mangga yang berdaun lebat penuh dengan kehijauan dan pohon yang menjadi jantung dalam hubungan ini. Aku teringat ketika mulutmu berkata kepadaku. Bola mata yang memandangku dengan indah yang memberi sebuah arti dalam kehidupanku. Dan aku masih ingat betapa usahamu ketika tanganmu sekuat tenaga meraih tanganku untuk mengapai kebahagiaan. Aku masih dan aku akan selalu ingat disetiap langkahku walau nanti akhirnya aku pun berada di atas bumi. Berpijak dalam kehidupan realita yang pasti.
Terngiang disaat-saat kau bersamaku itulah awal kebahagiaan dalam hidupku. Aku sangat bahagia seakan aku telah tinggal di langit ke tujuh bersamamu dalam sebuah keabadian. Melewati hari yang terus berjalan. Bersama beriring melewati rintangan tuk menggapai hidup yang bahagia. Berpegangan tangan saat aku terjatuh. Membangunkanku saat aku tak lagi kuasa menahan beratnya hidup. Terus berjalan diantara jalanan yang berliku dan berduri. Lalu kerikil-kerikil tajam sering menancap diantara kakiku dan kakimu. Melukai, lalu darah bercucuran diantara kaki dan jalanan hidup kita. Kebahagiaan itu masih terkenang jelas di mataku. Tapi semua itu kini hanya tinggal kenangan.
Semua yang kulakukan, semua yang kujalani, semua terpaku dalam pesonamu. Semua hanyalah kenangan, kenangan yang hanya membawa luka. Tiba-tiba kau hilang, hilang entah kemana. Tak ada kabar berita, diantara Face-book, Twiter, Wechat, Line, SMS, BBM, bahkan diantara rumah dan jalanan yang pernah kita lalui. Tempat-tempat yang pernah kita singgahi kini tak lagi ada jiwamu. Kau hilang di telan bumi begitu saja. Tak ada kabar berita, tak ada isu maupun gosip tentangmu, tak ada kata perpisahan yang sewajarnya kau ucap untukku meskipun itu hanya sepatah kata.
Dengan hilangnya kau dari hidupku, hidup ini hanya penuh luka. Sejuta kebahagiaan yang kau beri kini hilang bersamamu dan berganti dengan luka. Aku tak tau kau ada dimana. Dalam keadaan apa ? apakah kau ada di surga?. Di surga yang indah dengan beribu-ribu khayalan yang akan jadi nyata. “Engkau ada dimana?”, jeritku sesaat dalam hati dengan tetesan air mata yang satu per satu membasahi pipiku. Setetes demi setetes luka itu membasahi dan membasai kehidupan ini. Tetes demi setetes terus mengalir membasahi bumi ini. Terus mengalir diantara tanah yang telah mengering.
Mataku terbuka dari pejaman mata hati yang merinduhkan kenangan,,,,,,,
Ketika mata ini terbuka, mata ini melihat sebuah kesunyian dibawah pohon mangga yang menjadi salah satu kenangan. Matahari kini telah ada di atas ubun-ubun. Kepala terasa sangat panas, panas dan panas. Panas yang mengartikan dalam luka yang kurasakan. Pohon mangga yang menjadi atap disetiapku termenung sekarang daun kuningnya pun mulai berguguran. Satu demi satu daun itu pun jatuh ke tanah dibawah kaki ini yang sedang merenungkan nasib. Satu dua daun berjatuhan, lalu tertiup angin yang semilir dari satu ranting keranting lain. Daun-daun terus berguguran mengikuti arah angin. Hingga daun-daun itu berserakan tak karuan diantara kaki dan tubuhku, dulu Bungah mawar yang menjadi keindahan dalam hidupku, kian kelopak bunga itu jatuh satu-per satu hingga tak tersisa sedikitpun. Batangnya pun mulai mengering bersama daun mungilnya. Bunga mawar yang dulu menjadi semangat hidup ini kian menjadi sebuah kelemahan dalam hidup ini.
Terfikirkan dalam kenangan,,,,,
Ku teringat dengan kenanganku yang saat ini menjadi lukaku. Orang tua yang kian lama bersamaku dulu, bersama dengan kebahagiaan yang hadir dalam hidup ini. Tapi kenapa detik ini kebahagiaan itu hilang seakan dihembus angin kencang. “Ayah dan ibu”, jeritku dalam kenangan dengan sebuah tangis yang memendam beribu-ribu luka. “Ayah dan ibu”, kuulangi perkataanku tadi dengan lantang ku berujar dalam hati. “Andai engkau ada disini, melewati hidup ini bersamaku alangkah indahnya hidupku, tapi itu tidak mungkin karena kalian telah ada di surga sana ditempat yang menyembunyikan sejuta keajaiban dalam keabadian.
“Ayah,,,,,,,,,,,,,,,,, Ibu,,,,,,,,,,,,,,,”
“Ayah, ibu mengapa kau cepat meninggalkan aku sendiri disini dengan beribu-ribu, bahkan berjuta-juta luka yang kini kurasakan”.
Dulu engkau bersamaku, bercanda tawa denganku dan melewati hari-hari ini denganku. Ketika aku melihat matamu dengan penuh kasih sayang, disitulah aku menemukan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Dari cerita kecerita. Aku tahu betapa kalian menyayangiku, sejak aku masih bayi. Kau menyentuh lentik tangan-tangan mungilku, menciumiku dengan rasa bangga dan bahagia. Mendapatkan rizki yang tak terhingga. Mendapatkan amanah untuk mendidikku, menghidupiku agar menjadi anak yang berbakti kepada Tuhanku, bangsa dan agamaku.
Bercerita diantara perjalanan hidup, mengenang ketika aku sedih, menangis karena problem yang kuhadapi di sekolah, bersama sahabat dan masyarakat kau senantiasa hadir menenangkanku. Hati ini semakin tenang ketika engkau berdua bersamaku, bersama dengan ku selamanya sampai azal menjemput dan membawa kami semua ke langit ke tujuh. Ke surgamu ya Allah dengan sebuah ke-ikhlasan. Kataku dalam hati, “Aku sayang dengan ayah dan ibu ku, aku sangat sayang, sayang dan sayang. Semoga kelak nanti aku akan bertemu dengan ayah dan ibuku, Amin,,,”.
Debu terus berhembus dari jalanan yang terjal………
Hari mulai sore. Matahari mulai meninggalkan bumi dan akan digantikan sementara dengan bulan. Daun-daun yang mulai kering, daun yang berguguran pun kian semakin banyak. Daun yang telah berguguran tanpa bisa kuhitung jumlahnya. Ranting dan pohonnya mulai mengering. Jari-jemariku kini mulai tak bisa tuk menggenggam. Menggenggam sebuah kenangan yang kini kian menerpahku dalam kesedihan. Bunga mawar yang ada dihadapanku kini kian menghilang demi detik. Detik demi detik berjalan daun kelopak mawar pun mulai berjatuhan dan mati, semakin lama dan semakin lama daun mawar pun meninggalkan tangkai tanpa isi, tangkai yang kering kerontang seperti halnya aku yang berdiri didunia ini sendiri tanpa orang-orang yang kusayangi.
Tiada lagi hujan, tiada lagi mendung yang ada hanyalah luka ku yang menjadi hujan dalam hati ini. Hujan yang tanpa henti, hujan yang selalu menghampiriku. Mendung yang menemani ku di setiap keadaan ku. Mendung yang mengawali sebuah hujan dan mendung pun mengawali luka yang kurasakan. Air mata, air mata ini telah cukup banyak tuk mengeluarkan rindu ku padamu. Pada orang-orang yang kusayangi.
Sahabat,,,,,,,,,,,,,,
Sahabat, sahabat adalah orang yang dapat menerima kita apa adanya bukan karena ada apanya. Sahabat yang selalu menemaniku disaat suka maupun duka. Sahabat bagaikan paru-paru dalam tubuh ku ini. Dimana tempatku menghirup udara didunia. Dulu kau ada untukku sahabat. Belajar bersama denganku, bercanda tawa denganku, berbagi kisah denganku. Tapi mengapa sekarang kau pergi meninggalkanku. Meninggalkanku sendiri di dalam kesunyian ini, kesunyian yang menakutkanku tuk menjalani hidup. Kau pergi entah kemana, pergi meninggalkanku sendiri. Kau pergi seperti semuanya yang meningalkan ku sendiri. Di tempat sunyi ini ku sendiri tanpa ada kau disini yang menemaniku dalam kesunyian ini.
Hahahahaaa,,,,,,,,,hahahahaaa,,,,,,,,,,,,
Suara tawa mu masih terdengar ditelingah ini. Suara tawa yang membuatku tersenyum. Suara tawa yang menjadi energiku saatku termenung meratapi hidup. Disaatku terluka kau bertanya padaku, “Kenapa kamu?” tanyanya kepadaku. Kata tanya itu masih teringat dalam memori ini memori yang menjadi isi kenangan dalam hidup yang pernah kujalani denganmu. Sahabat kau pernah berjanji tak akan meninggalkanku sendiri tapi kenapa kau pergi jauh entah kemana. Apakah kamu masih ada disini diatas bumi ini dibawah langit biru yang menjadi atapmu, ataukah kau telah disana, di langit ke tujuh bersama kedua orang tuaku.
“Sahabat aku rinduh padamu”
Ku kembali membuka mata dari pejamanku mengingat kenangan mu bersamaku sahabat. Saat ku membuka mata senja pun mulai menghampiri. Matahari yang awalnya terbit dari ufuk timur sekarang matahari mulai tenggelam di ujung barat. Daun-daun yang awalnya hijau segar sekarang pun gugur layu berterbangan seperti kenyataan yang dulu membahagiakan kini menjadi sebuah luka abadi dalam kenangan. Bunga mawar pun layu dengan beriringnya waktu, bunga mawar yang tadinya mekar merona kini bunga mawar pun hilang dibawah angin yang berhembus ke langit ketujuh. Tempat yang abadi dalam sebuah kebahagiaan.
Masih ditempat yang sama,,,,,,,,,,,,,,
Ditempat yang menyembunyikan luka ku ini. Aku hanya terdiam, terdiam dan terdiam. Kulit ini mulai keriput. Mata ini yang tak lagi dapat melihat dengan jelas. Tangan yang tak lagi dapat memegang, bahkan tak dapat lagi tuk menggenggam sebuah kebahagiaan. Hidup ini serasa hampah, hampah, hampah dan hampah. Kuterdiam sendiri diatas luka-lukaku yang abadi, perasaan yang kian tak menentu, rasa gelisah yang kini menghantuiku. Ku tak bisa mengelak dalam kenyataan hidup ini. Luka yang akan membawahku ke langit ke tujuh dan akan menemukanku dengan kebahagianku disana.
Saat aku melihat senja akan berganti mega. Siang berganti malam. Daun daun telah rontok berserakan tak karuan. Pandangan mataku terus menatap kesunyian yang semakin dalam. Mengingatkanku bagaimana negeri ini di perjuangkan. Para pejuang berguguran seperti daun kering ini. Satu demi satu menghembuskan nafas terakhirnya. Berkalang tanah, Berlumur darah demi kata “ merdeka” senjata bamboo runcing dan ketapel melapan senapan besi dan meriam belanda. Belum lagi pasukan Jepang dan Sekutu yang begitu kuatnya. Membumi hanguskan negeri ini dari ujung aceh hingga papua.
“pekik Allahu Akbar” yang di suarakan Bung Tomo di Surabaya, dan arek arek suroboyo yang terkenal generasi pahlawannya kini telah berganti korupsi, para pejabat tak lagi berjiwa pejuang, generasi muda pun kini telah malas belajar, malas berjuang demi negeri ini. Bagaimana mereka jika di minta mengorbankan nyawanya demi negeri, pasti mereka tidak akan mau lagi. Individualis dan sifat kekelompokan menjadi nyawa mereka, darah mereka hanya uang dan kekuasaan.
Perasaan yang sore ini semakin menyakitkan jiwaku. Kapan lagi aku menjumpai para pejuang-pejuang negeri ini. Yang dengan ikhlas dan sabar membangun negeri ini. Tanpa kenal rasa lelah dan letih, terus merangkak, terus belajar, terus berlari membangun negeri ini dari satu sisi kesisi yang lain. Dari satu masa ke masa yang akan datang. Hingga negeri ini bisa menjadi negeri yang terbaik di dunia dan akhirat.
Sabar,,,,,,,,,,,,
Sabar, sabar hanya sabar yang menemaniku tuk menghadapi dunia yang kejam ini. Dunia yang membuatku asing. Kaki ini tak dapat lagi melangkah, bahkan berdiri pun kaki ini tak bisa. Tubuh pun kian mulai rentah. Otot-otot tulang pun kian keropos. Pipi ini yang berkali-kali menampah air mata yang menetes. Kali ini pun air mata pun menetes lagi. Air mata ini menetes, menetes dan menetes, dan air mata ini yang telah membasahi pipi ini. Hingga air mata ini tak lagi ada. Mata ini kian tak bisa memandang. Mata ini perlahan demi perlahan menutup. Matahari telah tenggelam di ujung barat. Tubuh mulai lemas dan sangat lemah. Detik, demi detik pun kian terlewati dan mata ini pun kian menutup. Setelah kututup panjang mata ini lalu kubuka mataku dengan perlahan ku melihat keabadian hidup yang indah dan ternyata ku telah ada di langit ketujuh bersama dengan kebahagiaanku.
LUKA ABADI DALAM KENANGAN
Karya : Khofifah Indar Parawangsa
Pagi hari, dibawah langit biru ku menatap matahari terbit dari ufuk timur….
Pagi yang mengawali kehidupan ini. Sinarnya redup menjelajah diantara daun dan batang yang basah. Tetesan embun yang bening terus mengalir diantara serat-serat pepohonan nan sepi. Burung-burung bersiul bersaut-sahutan diantara ranting kering pohon bamboo, lalu ikan enggan berenang diantara sungai yang mulai mengering. Alirannya kini tingal searah saja, kecil dan semakin mengecil seharinya. Kehidupanku yang sunyi yang terpendam dalam luka. Aku duduk termenung diatas kesunyian dibawah pohon mangga yang kini tak lagi berbuah dan daun-daunnya mulai menguning.
Diantara keheningan pagi. Mata ini terus menatap bunga mawar yang elok nan indah dihadapan tubuh ini. Saat ku menatap bunga yang indah itu seakan-akan mata ini melihat surga diatas langit ke tujuh. Surga yang di ceritakan ustad-ustadku dulu seperti taman surgawi. Di penuhi dengan bunga-bunga yang indah. Bermekaran di sana-sini, lalu aliran sungai begitu deras dengan suasana tenangnya. Lalu beribu hewan yang indah menemani kesempurnaan taman surgawi. Begitu juga di hadapanku, kulihat kupu-kupu pun menghampiri bunga mawar yang elok nan indah itu, menari-nari diatas mahkota bunga mawar yang menambah ke indahan dalam kesunyianku. Kakinya yang lentik, terus menarikan sajak-sajak sunyi. Mengiringi suara alam yang terus bernostalgia diantara kisah romansa klasik.
Tangan yang merabah, memegang, dan menggenggam keindahan dalam kesunyian. Kaki yang berpijak di atas bumi, kaki yang menompang diri tuk menjalani hidup. Dan hati yang mantab tuk ada dalam kehidupan yang bahagia. Umur yang sudah tua rentan ini sama seperti pohon yang selama ini menjadi atap disaat ku duduk merasakan hembusan angin dalam kesunyian. Dalam renungku ku berfikir, apakah aku pernah muda?, aku pun tak tau kapan aku mudah? Seperti apa masa mudaku? Bahkan aku pun tak tau kapan masa kanak-kanakku di mulai dan telah usai? Kehidupan ini sungguh membingungkan. Kehidupan yang berjalan seperti air yang terus mengalir. Atau seperti angin yang terus berhembus tak tentu arah rimbanya. Menyela diantara dedaunan dan pepohonan. Lalu menepi diatas rumput-rumput yang bergoyang. Membela bukit dan pegunungan. Lalu menyentuh diantara gelombang lautan yang lepas.
Terlintas pada pikiranku………..
Dulu aku duduk disini dengan senyuman dan sejuta kebahagiaan. Duduk bersama denganmu dibawah sandaran pohon mangga yang berdaun lebat penuh dengan kehijauan dan pohon yang menjadi jantung dalam hubungan ini. Aku teringat ketika mulutmu berkata kepadaku. Bola mata yang memandangku dengan indah yang memberi sebuah arti dalam kehidupanku. Dan aku masih ingat betapa usahamu ketika tanganmu sekuat tenaga meraih tanganku untuk mengapai kebahagiaan. Aku masih dan aku akan selalu ingat disetiap langkahku walau nanti akhirnya aku pun berada di atas bumi. Berpijak dalam kehidupan realita yang pasti.
Terngiang disaat-saat kau bersamaku itulah awal kebahagiaan dalam hidupku. Aku sangat bahagia seakan aku telah tinggal di langit ke tujuh bersamamu dalam sebuah keabadian. Melewati hari yang terus berjalan. Bersama beriring melewati rintangan tuk menggapai hidup yang bahagia. Berpegangan tangan saat aku terjatuh. Membangunkanku saat aku tak lagi kuasa menahan beratnya hidup. Terus berjalan diantara jalanan yang berliku dan berduri. Lalu kerikil-kerikil tajam sering menancap diantara kakiku dan kakimu. Melukai, lalu darah bercucuran diantara kaki dan jalanan hidup kita. Kebahagiaan itu masih terkenang jelas di mataku. Tapi semua itu kini hanya tinggal kenangan.
Semua yang kulakukan, semua yang kujalani, semua terpaku dalam pesonamu. Semua hanyalah kenangan, kenangan yang hanya membawa luka. Tiba-tiba kau hilang, hilang entah kemana. Tak ada kabar berita, diantara Face-book, Twiter, Wechat, Line, SMS, BBM, bahkan diantara rumah dan jalanan yang pernah kita lalui. Tempat-tempat yang pernah kita singgahi kini tak lagi ada jiwamu. Kau hilang di telan bumi begitu saja. Tak ada kabar berita, tak ada isu maupun gosip tentangmu, tak ada kata perpisahan yang sewajarnya kau ucap untukku meskipun itu hanya sepatah kata.
Dengan hilangnya kau dari hidupku, hidup ini hanya penuh luka. Sejuta kebahagiaan yang kau beri kini hilang bersamamu dan berganti dengan luka. Aku tak tau kau ada dimana. Dalam keadaan apa ? apakah kau ada di surga?. Di surga yang indah dengan beribu-ribu khayalan yang akan jadi nyata. “Engkau ada dimana?”, jeritku sesaat dalam hati dengan tetesan air mata yang satu per satu membasahi pipiku. Setetes demi setetes luka itu membasahi dan membasai kehidupan ini. Tetes demi setetes terus mengalir membasahi bumi ini. Terus mengalir diantara tanah yang telah mengering.
Mataku terbuka dari pejaman mata hati yang merinduhkan kenangan,,,,,,,
Ketika mata ini terbuka, mata ini melihat sebuah kesunyian dibawah pohon mangga yang menjadi salah satu kenangan. Matahari kini telah ada di atas ubun-ubun. Kepala terasa sangat panas, panas dan panas. Panas yang mengartikan dalam luka yang kurasakan. Pohon mangga yang menjadi atap disetiapku termenung sekarang daun kuningnya pun mulai berguguran. Satu demi satu daun itu pun jatuh ke tanah dibawah kaki ini yang sedang merenungkan nasib. Satu dua daun berjatuhan, lalu tertiup angin yang semilir dari satu ranting keranting lain. Daun-daun terus berguguran mengikuti arah angin. Hingga daun-daun itu berserakan tak karuan diantara kaki dan tubuhku, dulu Bungah mawar yang menjadi keindahan dalam hidupku, kian kelopak bunga itu jatuh satu-per satu hingga tak tersisa sedikitpun. Batangnya pun mulai mengering bersama daun mungilnya. Bunga mawar yang dulu menjadi semangat hidup ini kian menjadi sebuah kelemahan dalam hidup ini.
Terfikirkan dalam kenangan,,,,,
Ku teringat dengan kenanganku yang saat ini menjadi lukaku. Orang tua yang kian lama bersamaku dulu, bersama dengan kebahagiaan yang hadir dalam hidup ini. Tapi kenapa detik ini kebahagiaan itu hilang seakan dihembus angin kencang. “Ayah dan ibu”, jeritku dalam kenangan dengan sebuah tangis yang memendam beribu-ribu luka. “Ayah dan ibu”, kuulangi perkataanku tadi dengan lantang ku berujar dalam hati. “Andai engkau ada disini, melewati hidup ini bersamaku alangkah indahnya hidupku, tapi itu tidak mungkin karena kalian telah ada di surga sana ditempat yang menyembunyikan sejuta keajaiban dalam keabadian.
“Ayah,,,,,,,,,,,,,,,,, Ibu,,,,,,,,,,,,,,,”
“Ayah, ibu mengapa kau cepat meninggalkan aku sendiri disini dengan beribu-ribu, bahkan berjuta-juta luka yang kini kurasakan”.
Dulu engkau bersamaku, bercanda tawa denganku dan melewati hari-hari ini denganku. Ketika aku melihat matamu dengan penuh kasih sayang, disitulah aku menemukan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Dari cerita kecerita. Aku tahu betapa kalian menyayangiku, sejak aku masih bayi. Kau menyentuh lentik tangan-tangan mungilku, menciumiku dengan rasa bangga dan bahagia. Mendapatkan rizki yang tak terhingga. Mendapatkan amanah untuk mendidikku, menghidupiku agar menjadi anak yang berbakti kepada Tuhanku, bangsa dan agamaku.
Bercerita diantara perjalanan hidup, mengenang ketika aku sedih, menangis karena problem yang kuhadapi di sekolah, bersama sahabat dan masyarakat kau senantiasa hadir menenangkanku. Hati ini semakin tenang ketika engkau berdua bersamaku, bersama dengan ku selamanya sampai azal menjemput dan membawa kami semua ke langit ke tujuh. Ke surgamu ya Allah dengan sebuah ke-ikhlasan. Kataku dalam hati, “Aku sayang dengan ayah dan ibu ku, aku sangat sayang, sayang dan sayang. Semoga kelak nanti aku akan bertemu dengan ayah dan ibuku, Amin,,,”.
Debu terus berhembus dari jalanan yang terjal………
Hari mulai sore. Matahari mulai meninggalkan bumi dan akan digantikan sementara dengan bulan. Daun-daun yang mulai kering, daun yang berguguran pun kian semakin banyak. Daun yang telah berguguran tanpa bisa kuhitung jumlahnya. Ranting dan pohonnya mulai mengering. Jari-jemariku kini mulai tak bisa tuk menggenggam. Menggenggam sebuah kenangan yang kini kian menerpahku dalam kesedihan. Bunga mawar yang ada dihadapanku kini kian menghilang demi detik. Detik demi detik berjalan daun kelopak mawar pun mulai berjatuhan dan mati, semakin lama dan semakin lama daun mawar pun meninggalkan tangkai tanpa isi, tangkai yang kering kerontang seperti halnya aku yang berdiri didunia ini sendiri tanpa orang-orang yang kusayangi.
Tiada lagi hujan, tiada lagi mendung yang ada hanyalah luka ku yang menjadi hujan dalam hati ini. Hujan yang tanpa henti, hujan yang selalu menghampiriku. Mendung yang menemani ku di setiap keadaan ku. Mendung yang mengawali sebuah hujan dan mendung pun mengawali luka yang kurasakan. Air mata, air mata ini telah cukup banyak tuk mengeluarkan rindu ku padamu. Pada orang-orang yang kusayangi.
Sahabat,,,,,,,,,,,,,,
Sahabat, sahabat adalah orang yang dapat menerima kita apa adanya bukan karena ada apanya. Sahabat yang selalu menemaniku disaat suka maupun duka. Sahabat bagaikan paru-paru dalam tubuh ku ini. Dimana tempatku menghirup udara didunia. Dulu kau ada untukku sahabat. Belajar bersama denganku, bercanda tawa denganku, berbagi kisah denganku. Tapi mengapa sekarang kau pergi meninggalkanku. Meninggalkanku sendiri di dalam kesunyian ini, kesunyian yang menakutkanku tuk menjalani hidup. Kau pergi entah kemana, pergi meninggalkanku sendiri. Kau pergi seperti semuanya yang meningalkan ku sendiri. Di tempat sunyi ini ku sendiri tanpa ada kau disini yang menemaniku dalam kesunyian ini.
Hahahahaaa,,,,,,,,,hahahahaaa,,,,,,,,,,,,
Suara tawa mu masih terdengar ditelingah ini. Suara tawa yang membuatku tersenyum. Suara tawa yang menjadi energiku saatku termenung meratapi hidup. Disaatku terluka kau bertanya padaku, “Kenapa kamu?” tanyanya kepadaku. Kata tanya itu masih teringat dalam memori ini memori yang menjadi isi kenangan dalam hidup yang pernah kujalani denganmu. Sahabat kau pernah berjanji tak akan meninggalkanku sendiri tapi kenapa kau pergi jauh entah kemana. Apakah kamu masih ada disini diatas bumi ini dibawah langit biru yang menjadi atapmu, ataukah kau telah disana, di langit ke tujuh bersama kedua orang tuaku.
“Sahabat aku rinduh padamu”
Ku kembali membuka mata dari pejamanku mengingat kenangan mu bersamaku sahabat. Saat ku membuka mata senja pun mulai menghampiri. Matahari yang awalnya terbit dari ufuk timur sekarang matahari mulai tenggelam di ujung barat. Daun-daun yang awalnya hijau segar sekarang pun gugur layu berterbangan seperti kenyataan yang dulu membahagiakan kini menjadi sebuah luka abadi dalam kenangan. Bunga mawar pun layu dengan beriringnya waktu, bunga mawar yang tadinya mekar merona kini bunga mawar pun hilang dibawah angin yang berhembus ke langit ketujuh. Tempat yang abadi dalam sebuah kebahagiaan.
Masih ditempat yang sama,,,,,,,,,,,,,,
Ditempat yang menyembunyikan luka ku ini. Aku hanya terdiam, terdiam dan terdiam. Kulit ini mulai keriput. Mata ini yang tak lagi dapat melihat dengan jelas. Tangan yang tak lagi dapat memegang, bahkan tak dapat lagi tuk menggenggam sebuah kebahagiaan. Hidup ini serasa hampah, hampah, hampah dan hampah. Kuterdiam sendiri diatas luka-lukaku yang abadi, perasaan yang kian tak menentu, rasa gelisah yang kini menghantuiku. Ku tak bisa mengelak dalam kenyataan hidup ini. Luka yang akan membawahku ke langit ke tujuh dan akan menemukanku dengan kebahagianku disana.
Saat aku melihat senja akan berganti mega. Siang berganti malam. Daun daun telah rontok berserakan tak karuan. Pandangan mataku terus menatap kesunyian yang semakin dalam. Mengingatkanku bagaimana negeri ini di perjuangkan. Para pejuang berguguran seperti daun kering ini. Satu demi satu menghembuskan nafas terakhirnya. Berkalang tanah, Berlumur darah demi kata “ merdeka” senjata bamboo runcing dan ketapel melapan senapan besi dan meriam belanda. Belum lagi pasukan Jepang dan Sekutu yang begitu kuatnya. Membumi hanguskan negeri ini dari ujung aceh hingga papua.
“pekik Allahu Akbar” yang di suarakan Bung Tomo di Surabaya, dan arek arek suroboyo yang terkenal generasi pahlawannya kini telah berganti korupsi, para pejabat tak lagi berjiwa pejuang, generasi muda pun kini telah malas belajar, malas berjuang demi negeri ini. Bagaimana mereka jika di minta mengorbankan nyawanya demi negeri, pasti mereka tidak akan mau lagi. Individualis dan sifat kekelompokan menjadi nyawa mereka, darah mereka hanya uang dan kekuasaan.
Perasaan yang sore ini semakin menyakitkan jiwaku. Kapan lagi aku menjumpai para pejuang-pejuang negeri ini. Yang dengan ikhlas dan sabar membangun negeri ini. Tanpa kenal rasa lelah dan letih, terus merangkak, terus belajar, terus berlari membangun negeri ini dari satu sisi kesisi yang lain. Dari satu masa ke masa yang akan datang. Hingga negeri ini bisa menjadi negeri yang terbaik di dunia dan akhirat.
Sabar,,,,,,,,,,,,
Sabar, sabar hanya sabar yang menemaniku tuk menghadapi dunia yang kejam ini. Dunia yang membuatku asing. Kaki ini tak dapat lagi melangkah, bahkan berdiri pun kaki ini tak bisa. Tubuh pun kian mulai rentah. Otot-otot tulang pun kian keropos. Pipi ini yang berkali-kali menampah air mata yang menetes. Kali ini pun air mata pun menetes lagi. Air mata ini menetes, menetes dan menetes, dan air mata ini yang telah membasahi pipi ini. Hingga air mata ini tak lagi ada. Mata ini kian tak bisa memandang. Mata ini perlahan demi perlahan menutup. Matahari telah tenggelam di ujung barat. Tubuh mulai lemas dan sangat lemah. Detik, demi detik pun kian terlewati dan mata ini pun kian menutup. Setelah kututup panjang mata ini lalu kubuka mataku dengan perlahan ku melihat keabadian hidup yang indah dan ternyata ku telah ada di langit ketujuh bersama dengan kebahagiaanku.
Komentar
Posting Komentar